Banyaknya jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bermasalah merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap TKI. Fungsi advokasi perwakilan negara melalui atase ketenagakerjaan dan KBRI belum optimal.
Demikian diungkapkan Anggota Komisi IX, DPR RI dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah, S.Si., M.Psi.T. melalui siaran persnya yang diterima "GM", Minggu (24/1).
"Alih-alih melakukan pengawasan terhadap Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) malah menambah jumlah PPTKIS dari 499 tahun 2008 menjadi 538 tahun 2009," ungkap Ledia.
Ledia menilai, pemerintah tidak tegas memberlakukan sanksi terhadap PPTKIS nakal. Kemenakertrans lebih banyak mengumbar janji akan menindak PPTKIS yang nakal, namun realitasnya korban PPTKIS nakal terus berjatuhan.
Ledia menyebutkan, sampai 20 Januari 2010, pemerintah telah berhasil memulangkan 2.019 TKI bermasalah dari berbagai negara. Usaha ini tentu baik karena dapat mengurangi beban KBRI dalam menampung TKI bermasalah tersebut.
Kendati demikian, katanya, pemulangan TKI bermasalah, hanya solusi mikro yang tidak akan berdampak besar pada penyelesaian persoalan TKI yang carut-marut. Pemerintah melalui Kemenakertrans beserta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) harus melakukan restrukturisasi mendasar dalam pembinaan TKI.
Apalagi pemulangan TKI dikaitkan dengan capaian program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. "Oleh karenannya, kita harus berhenti mejadikan TKI sebagai objek eksploitasi mulai dari perekrutan, penempatan, sampai pemulangan TKI dari luar negeri" ujarnya.
Ledia mengaharapkan, seluruh stakeholder harus memiliki persepsi yang sama bahwa TKI harus dikembalikan kepada fungsinya yang telah banyak membantu menyelesaikan persoalan bangsa. Terutama dalam mengurangi angka penganguran dan kemiskinan, sehingga dari hasil kerjanya para TKI bisa meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.
"Selain itu, hal lain yang harus diperhatikan pemerintah adalah nasib anak-anak dari TKI yang ibunya bekerja di luar negeri. Baik akibat pemerkosaan maupuan pengabaian dari laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Negara harus memikirkan masa depan mereka dan legalitas mereka secara hukum," tegasnya.
Apabila pemerintah tidak menyelesaikan persoalan tersebut, tambahnya, maka anak-anak TKI tersebut akan menjadi persoalan berkepanjangan dan bumerang bagi bangsa. Anak-anak yang lahir seharusnya tidak juga menjadi korban dari kegagalan pemerintah dalam melindungi para TKI di luar negeri. Masa depan Anak-anak dari hasil TKI bermasalah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjamin kesejahteraan dan masa depan mereka. (B.96)**/ http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20100125103201&idkolom=tatarbandung
Demikian diungkapkan Anggota Komisi IX, DPR RI dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah, S.Si., M.Psi.T. melalui siaran persnya yang diterima "GM", Minggu (24/1).
"Alih-alih melakukan pengawasan terhadap Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) malah menambah jumlah PPTKIS dari 499 tahun 2008 menjadi 538 tahun 2009," ungkap Ledia.
Ledia menilai, pemerintah tidak tegas memberlakukan sanksi terhadap PPTKIS nakal. Kemenakertrans lebih banyak mengumbar janji akan menindak PPTKIS yang nakal, namun realitasnya korban PPTKIS nakal terus berjatuhan.
Ledia menyebutkan, sampai 20 Januari 2010, pemerintah telah berhasil memulangkan 2.019 TKI bermasalah dari berbagai negara. Usaha ini tentu baik karena dapat mengurangi beban KBRI dalam menampung TKI bermasalah tersebut.
Kendati demikian, katanya, pemulangan TKI bermasalah, hanya solusi mikro yang tidak akan berdampak besar pada penyelesaian persoalan TKI yang carut-marut. Pemerintah melalui Kemenakertrans beserta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) harus melakukan restrukturisasi mendasar dalam pembinaan TKI.
Apalagi pemulangan TKI dikaitkan dengan capaian program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. "Oleh karenannya, kita harus berhenti mejadikan TKI sebagai objek eksploitasi mulai dari perekrutan, penempatan, sampai pemulangan TKI dari luar negeri" ujarnya.
Ledia mengaharapkan, seluruh stakeholder harus memiliki persepsi yang sama bahwa TKI harus dikembalikan kepada fungsinya yang telah banyak membantu menyelesaikan persoalan bangsa. Terutama dalam mengurangi angka penganguran dan kemiskinan, sehingga dari hasil kerjanya para TKI bisa meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.
"Selain itu, hal lain yang harus diperhatikan pemerintah adalah nasib anak-anak dari TKI yang ibunya bekerja di luar negeri. Baik akibat pemerkosaan maupuan pengabaian dari laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Negara harus memikirkan masa depan mereka dan legalitas mereka secara hukum," tegasnya.
Apabila pemerintah tidak menyelesaikan persoalan tersebut, tambahnya, maka anak-anak TKI tersebut akan menjadi persoalan berkepanjangan dan bumerang bagi bangsa. Anak-anak yang lahir seharusnya tidak juga menjadi korban dari kegagalan pemerintah dalam melindungi para TKI di luar negeri. Masa depan Anak-anak dari hasil TKI bermasalah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjamin kesejahteraan dan masa depan mereka. (B.96)**/ http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode=20100125103201&idkolom=tatarbandung
0 komentar:
Posting Komentar