Pages

 

Selasa, 14 Mei 2013

Hadapi ACFTA, BPOM Perlu Revitalisasi Diri

0 komentar
Bandung - Pengawasan terhadap produk-produk makanan dan obat-obatan dari luar negeri yang membanjiri pasar domestik, harus diawasi sangat ketat. Karena itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus berbenah diri.


Perjanjian Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) memungkinkan meningkatnya serbuan barang-barang impor memasuki pasar Indonesia. Salah satu persoalan krusial adalah masuknya makanan, kosmetika dan obat-obatan termasuk jamu dari negara lain.

"Kenyataannya saat ini pasar kita memang sudah banyak disuplai produk makanan dan obat-obatan dari luar negeri yang belum tentu terjamin keamanan dan kualitasnya untuk dikonsumsi. Apalagi setelah ACFTA," ujar Ledia Hanifa anggota Komisi IX DPR RI, melalui surat elektronik yang diterima detikbandung, Jumat (5/3/2010).

Untuk itu, BPOM sebagai salah satu garda depan dalam hal perlindungan terhadap konsumen seharusnya dapat menjalankan tugasnya secara lebih proaktif. "BPOM jangan sampai menjadi lembaga yang reaktif, baru bergerak manakala sudah terdapat kasus-kasus yang dilaporkan," lanjut Ledia.

Namun diakuinya, ada beberapa kesulitan yang dihadapi BPOM. Salah satunya adalah luasnya wilayah yang harus diawasi yakni 1.922.570 kilometer persegi untuk daratannya saja. Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan juga membuka banyaknya pintu masuk bagi produk makanan dan obat-obatan.

Mesiki demikian, Leida menilai hal ini selayaknya tidak menjadi hambatan dan justru menjadi tantangan tersendiri bagi BPOM untuk melakukan revitalisasi tehadap kinerja mereka.

"BPOM harus melakukan terobosan-terobosan baru guna meningkatakan pengawasan akan produk makanan dan obat-obatan impor ini," ujarnya. (lom/bbn)/ http://bandung.detik.com/read/2010/03/05/124654/1311930/486/hadapi-acfta-bpom-perlu-revitalisasi-diri
Jumat, 05/03/2010 13:06 WIB
BPOM Harus Tingkatkan SDM dan Kerjasama Lintas Lembaga
Salomo Sihombing - detikBandung
Bandung - Kasus penemuan produk makanan dan obat-obatan yang tidak memenuhi standar keamanan untuk dikonsumsi sudah berulangkali terjadi. Misalnya pada tahun 2008, ditemui makanan impor seperti  produk susu, biskuit, dan kue dari berbagai negara yang mengandung melamin.

Begitu pula banyak makanan, obat, kosmetika hingga jamu yang tidak memenuhi standar keamanan, tidak memuat daftar kandungan isi, juga tanda halal. Sebagian bahkan masih menggunakan tulisan bahasa asing dalam kemasannya.

Untuk melakukan revitalisasi diri, hal yang tidak kalah penting dilakukan oleh BPOM adalah meningkatkan kualitas SDM aparat BPOM di seluruh Indonesia.

"Ketersediaan SDM yang berkualitas ini harus secara terus menerus dipantau dan ditingkatkan agar setiap aparat BPOM bisa bekerja cepat, cermat dan akurat dalam menganalisa dan mengawasi kualitas produk yang akan masuk serta beredar di tengah masyarakat," ujar Ledia Hanifa anggota Komisi IX DPR RI, melalui surat elektronik yang diterima detikbandung, Jumat (5/3/2010).

Selain itu BPOM juga perlu melakukan upaya-upaya sosialisasi pada masyarakat secara lebih luas, lebih sering, terbuka, mudah dipahami.  Karena kenyataannya masyarakat kurang mendapat informasi tentang kandungan-kandungan berbahaya dari produk yang harus dicermati dan diwaspadai.

"Sosialisasi di kalangan anak sekolah dan ibu rumah tangga misalnya, masih sangat lemah. Akibatnya mereka sebagai pihak yang banyak berhubungan dengan produk makanan, obat, kosmetika dan jamu-jamuan masih rentan dalam melindungi diri mereka sendiri," jelas politisi asal PKS ini.

Hal lain yang juga diingatkan Ledia kepada BPOM adalah agar meningkatkan kerjasama dan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait baik dari dalam atau di luar negeri.

Dicontohkannya, untuk di dalam negeri, koordinasi yang kuat dan solid harus dilakukan dengan lembaga pemerintah lain seperti dengan kepolisian, kementrian kesehatan, kementrian perdagangan juga pemerintah daerah.

Sementara Kerjasama BPOM dengan lembaga luar negeri dapat dilakukan dalam bentuk membangun jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga riset dalam penilaian risiko mikrobiologis, komunikasi risiko dan pendidikan pengamanan makanan tentang wabah penyakit yang dibawa oleh makanan. Dengan demikian, BPOM bisa memperkuat kapasitas nasional untuk penilaian risiko dan penanggulangan wabah.

"Bagaimana pun BPOM harus mengikuti perkembangan tentang pengawasan makanan dan obat yang juga terjadi di negara lain untuk terus mengupdate diri juga." tambah Ledia. (lom/bbn)/

0 komentar:

Posting Komentar