Masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) perempuan di luar negeri merupakan masalah yang kompleks. Akhir-akhir ini semakin santer terdengar berbagai persoalan yang dialami oleh TKI perempuan, misalnya kesulitan dalam proses pembuatan dokumen keberangkatan, tidak jelasnya perjanjian kerja yang akan mereka jalankan, hingga ke masalah yang paling banyak disoroti, yaitu tindak kekerasan yang sering dialami oleh TKI perempuan, baik kekerasan secara mental maupun fisik.
Bertempat di Executive Lounge, Gedung Baru Rektorat Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Rabu (17/3), Pusat Penelitian Peranan Wanita (P3W) Unpad mengadakan diskusi publik “Isu-isu Pemenuhan Hak Tenaga Kerja Indonesia Perempuan”. Hadir sebagai pembicara anggota komisi IX DPR RI, Ledia Hanifa, S.Si, Mpsi.T, Kepala Pusat Penelitian P3W Unpad, Dr. Nina Djustiana,Drg., M.Kes, dan dosen jurusan Antropologi FISIP Unpad, Dr. Budi Radjab, M.Si.
Beberapa fakta tentang tenaga kerja di Indonesia yaitu tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, angka kemiskinan yang sulit diatasi pemerintah, angka pengangguran yang tinggi dan terus bertambah, serta adanya ketidakseimbangan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, tentu perlu diketahui akar permasalahannya terlebih dahulu.
“Salah satu akar permasalahannya berkaitan dengan pembuat dan pelaksana kebijakan. Adanya dualisme pengelola penempatan dan pengelola TKI di luar negeri antara BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI) dan Dirjen Bina Penta Kemenakertrans,” ujar Ledia.
Lebih lanjut Ledia mengatakan, dualisme itu membuat berbagai permasalahan dalam pemberangkatan tenaga kerja ke luar negeri, seperti tidak ada database tunggal tenaga kerja yang ditempatkan di luar negeri, penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTLN) ganda, dan berujung pada tidak terlindunginya para tenaga kerja.
Ledia pun mengusulkan pembuatan memorandum of understanding secara Government to Government, antara negara Indonesia dengan negara tujuan. “Sehingga apabila ada permasalahan yang dialami oleh tenaga kerja di luar negeri, pemerintah Indonesia dapat menuntut kepada pemerintah setempat,” jelasnya.
Selain itu, Ledia pun berharap agar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri segera direvisi sehingga penempatan dan perlindungan terhadap TKI dapat lebih menyeluruh.
Pembicara lain, Nina Djustiana berpendapat bahwa TKI muncul karena minimnya lapangan kerja di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. “Ada kebutuhan pemenuhan hidup yang mendesak, sementara pendidikan formal rendah dan keterampilan belum terasah,” jelasnya.
Oleh karena itulah dibutuhkan penanganan khusus dengan membuka peluang lapangan kerja dan usaha di pedesaaan, khususnya yang dapat terakses oleh masyarakat miskin dan termarginalkan. “Kita dapat mendorong atau memfasilitasi usaha home industry yang berbasis pada sumber daya lokal dan local knowledge. Misalnya dengan menciptakan pasar domestik untuk produk-produk lokal. Hal ini perlu dilakukan secara terus menerus,” ujar Nina.
Sementara Budi Radjab berpendapat bahwa menjadi perempuan itu memiliki resiko 70% terkena tindak kekerasan. “Hal ini terjadi karena ada stereotype bahwa perempuan itu lemah. Saya tidak percaya bahwa itu adalah kodrat, tetapi hanya sebuah konstruksi yang telah dibuat dan dianggap benar,” jelasnya.
Budi pun berpendapat bahwa risiko tindak kekerasan akan semakin besar apabila perempuan menjadi tenaga kerja karena dalam setiap hubungan kerja mengandung potensi kekerasan. “Apalagi menjadi tenaga kerja di sektor informal seperti rumah tangga, risikonya menjadi berlipat,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Budi menyarankan agar pekerjaan rumah tangga dijadikan pekerjaan formal. “Kalau sudah diformalkan kan menjadi mudah. Apabila ada apa-apa pemerintah dapat cepat turun tangan,” jelasnya.
http://www.mahasiswa.com/index.php?aid=8494&cid=17
Bertempat di Executive Lounge, Gedung Baru Rektorat Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Rabu (17/3), Pusat Penelitian Peranan Wanita (P3W) Unpad mengadakan diskusi publik “Isu-isu Pemenuhan Hak Tenaga Kerja Indonesia Perempuan”. Hadir sebagai pembicara anggota komisi IX DPR RI, Ledia Hanifa, S.Si, Mpsi.T, Kepala Pusat Penelitian P3W Unpad, Dr. Nina Djustiana,Drg., M.Kes, dan dosen jurusan Antropologi FISIP Unpad, Dr. Budi Radjab, M.Si.
Beberapa fakta tentang tenaga kerja di Indonesia yaitu tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, angka kemiskinan yang sulit diatasi pemerintah, angka pengangguran yang tinggi dan terus bertambah, serta adanya ketidakseimbangan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, tentu perlu diketahui akar permasalahannya terlebih dahulu.
“Salah satu akar permasalahannya berkaitan dengan pembuat dan pelaksana kebijakan. Adanya dualisme pengelola penempatan dan pengelola TKI di luar negeri antara BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI) dan Dirjen Bina Penta Kemenakertrans,” ujar Ledia.
Lebih lanjut Ledia mengatakan, dualisme itu membuat berbagai permasalahan dalam pemberangkatan tenaga kerja ke luar negeri, seperti tidak ada database tunggal tenaga kerja yang ditempatkan di luar negeri, penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTLN) ganda, dan berujung pada tidak terlindunginya para tenaga kerja.
Ledia pun mengusulkan pembuatan memorandum of understanding secara Government to Government, antara negara Indonesia dengan negara tujuan. “Sehingga apabila ada permasalahan yang dialami oleh tenaga kerja di luar negeri, pemerintah Indonesia dapat menuntut kepada pemerintah setempat,” jelasnya.
Selain itu, Ledia pun berharap agar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri segera direvisi sehingga penempatan dan perlindungan terhadap TKI dapat lebih menyeluruh.
Pembicara lain, Nina Djustiana berpendapat bahwa TKI muncul karena minimnya lapangan kerja di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. “Ada kebutuhan pemenuhan hidup yang mendesak, sementara pendidikan formal rendah dan keterampilan belum terasah,” jelasnya.
Oleh karena itulah dibutuhkan penanganan khusus dengan membuka peluang lapangan kerja dan usaha di pedesaaan, khususnya yang dapat terakses oleh masyarakat miskin dan termarginalkan. “Kita dapat mendorong atau memfasilitasi usaha home industry yang berbasis pada sumber daya lokal dan local knowledge. Misalnya dengan menciptakan pasar domestik untuk produk-produk lokal. Hal ini perlu dilakukan secara terus menerus,” ujar Nina.
Sementara Budi Radjab berpendapat bahwa menjadi perempuan itu memiliki resiko 70% terkena tindak kekerasan. “Hal ini terjadi karena ada stereotype bahwa perempuan itu lemah. Saya tidak percaya bahwa itu adalah kodrat, tetapi hanya sebuah konstruksi yang telah dibuat dan dianggap benar,” jelasnya.
Budi pun berpendapat bahwa risiko tindak kekerasan akan semakin besar apabila perempuan menjadi tenaga kerja karena dalam setiap hubungan kerja mengandung potensi kekerasan. “Apalagi menjadi tenaga kerja di sektor informal seperti rumah tangga, risikonya menjadi berlipat,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Budi menyarankan agar pekerjaan rumah tangga dijadikan pekerjaan formal. “Kalau sudah diformalkan kan menjadi mudah. Apabila ada apa-apa pemerintah dapat cepat turun tangan,” jelasnya.
http://www.mahasiswa.com/index.php?aid=8494&cid=17
0 komentar:
Posting Komentar