Pages

 

Selasa, 04 Juni 2013

Tuntaskan Dualisme Peran Pelayanan Pemberangkatan TKI ke Luar Negeri

0 komentar
TENAGA Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri atau yang kini kerap disebut sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI) adalah salah satu penyumbang terbesar devisa negara, nomor dua setelah pendapatan dari sektor migas. Lebih dari 100 triliun rupiah per tahun, sejak 2008, pendapatan devisa negara disumbangkan oleh para BMI ini sehingga negara sesungguhnya ‘berhutang’ kebaikan kepada para tenaga kerja yang acap dijuluki pahlawan devisa ini.

Namun, soal istilah pahlawan yang bermakna memuliakan ini seolah hanya menjadi sebuah hiburan pemanis bibir. Pada kenyataannya, persoalan pembinaan dan perlindungan pemerintah kepada para BMI justru nampak berlangsung setengah hati. Tengok saja kasus TKI bermasalah yang jumlahnya mencapai ribuan orang setiap tahunnya yang belum mendapat pendampingan dan perlindungan hukum yang memadai.

Sudah jamak terdengar sejumlah besar TKI atau calon TKI kerap memperoleh kesulitan dalam proses pembuatan dokumen pemberangkatan, terbelit berbagai pungutan liar, terlunta-lunta dalam soal penempatan kerja hingga terkena kasus-kasus kekerasan emosi, mental dan fisik yang berujung kesakitan, kecacatan bahkan hilangnya nyawa di tempat mereka bekerja. Pada sekian banyak kasus ini, pemerintah pun terkesan lambat dalam memberikan respon perlindungan dan pembelaan.

Semua masalah yang membelit para TKI atau calon TKI ini sesungguhnya  bermula di tanah air sejak terjadinya proses awal pemberangkatan. Adanya pemberangkatan TKI secara illegal, banyaknya PPTKIS yang sembrono mengirimkan tenaga kerja tanpa pembekalan, tanpa kejelasan penempatan hingga pungli dan kolusi dari oknum kemenakertrans bersama oknum PPTKIS telah membuka pintu awal derita di pundak calon TKI.

Karena itulah untuk memberikan perlindungan dan penertiban terhadap proses pemberangkatan TKI secara baik dan prosedural, negara sesungguhnya sudah berupaya memberikan payung hukum lewat terbitnya Undang-undang no 39 tahun 2004 yang mengatur soal Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, yang kemudian juga diikuti dengan berbagai peraturan pendukung lainnya seperti keluarnya Peraturan Pemerintah no 81 tahun 2006 tentang Badan  Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Peraturan Menteri no 22/XII/2008 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan beberapa peraturan terkait lainnya.

Namun, sungguh disayangkan, dalam implementasinya, berbagai pihak terkait seperti yang terjadi pada Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Dirjen Bina Penta) kemenakertrans dan lembaga Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang akhirnya memunculkan dualisme peran pelayanan dalam pelaksanaan proses pemberangkatan  para calon TKI ke luar negeri.

Dualisme peran pelaksanaan ini bahkan sudah berujung pada sebentuk ‘perseteruan’ dan tarik menarik kepentingan antar lembaga. Hal ini misalnya nampak dari persoalan kisruh pembekalan akhir pemberangkatan (PAP),  penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTLN), pun pada persoalan tarik menarik kewenangan pelayanan dan penanganan urusan TKI. Hal ini diantaranya disebabkan karena  hingga saat ini tiga institutsi yang meliputi pemerintah daerah, BNP2 TKI dan Depnakertrans bersikukuh untuk mengurusi  soal PAP dan penerbitan KTLN

Di berbagai media lantas tercuat adanya PPTKIS yang mengajukan keluhan soal pungutan biaya saat mengurus PAP dan KTLN ini, sesuatu yang bila mengacu pada UU no 39 tahun 2004 sesungguhnya tak memerlukan biaya dan sudah dibiayai oleh negara lewat dana APBN.

Begitupula adanya dualisme ini nyatanya membingungan para TKI, bahkan PPTKIS karena ada banyaknya peraturan yang harus diikuti sementara dalam prakteknya satu sama lain saling bertentangan. Ketika BNP2TKI mengeluarkan kebijakan kewajiban para calon buruh migran Indonesia memiliki kartu KTLN keluaran BNP2TKI misalnya, hal itu sempat memunculkan masalah dari pihak Dirjen Bina Penta.

Kekisruhan ini pada akhirnya telah melenakan banyak pihak terkait dari persoalan krusial lain yang berkenaan dengan buruh migran Indonesia ini, misalnya soal penertiban PPTKIS bermasalah, tenaga kerja ilegal, perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, serta terminal khusus  TKI yang juga memberi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah.

Sudah selayaknya bila persoalan dualisme pelayanan pengurusan TKI segera dituntaskan pemerintah sehingga bisa segera memberi kepastian pelaksanaan yang lebih tertib dan profesional di lapangan. Implementasi Undang-undang no 39 secara tegas harus segera dilakukan sementara menunggu wacana revisi undang-undang ini diberlakukan.
Sebab masih banyak pekerjaan rumah lain menanti kerja pemerintah untuk melakukan pelayanan dan perlindungan pada (calon) tenaga kerja Indonesia di luar negeri, termasuk membuat memorandum of understanding (MOU) dengan pemerintah-pemerintah negara pengguna jasa TKI, serta upaya pembelaan dan perlindungan hukum atas berbagai masalah yang menjerat TKI kita di luar negeri baik yang ilegal dan yang legal.

Apalagi, dari Oktober 2009 hingga masa berakhirnya 100 hari program Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini saja sudah tercatat ada lebih dari 2000 TKI bermasalah di luar negeri yang menuntut perhatian pemerintah, mulai dari soal TKI ilegal, TKI yang mendapatkan kecelakaan, kecatatan, hingga TKI yang tewas karena berbagai sebab.

Jangan tunggu lebih banyak kasus penderitaan buruh migran Indonesia terungkap. Penuntasan soal dualisme pelayanan pengurusan pemberangkatan TKI sudah bisa menjadi gerbang untuk mengawali penertiban dan pelaksanaan pengiriman tenaka kerja Indonesia ke luar negeri secara baik, profesional dan prosedural.


0 komentar:

Posting Komentar