Pages

 

Selasa, 04 Juni 2013

Gizi Balita Cermin Masa Depan Kita

0 komentar
Oh Amelia, gadis cilik lincah nian,

Tak pernah sedih, riang slalu spanjang hari...

Oh Amelia, gadis cilik ramah nian,

Dimana-mana Amelia temannya banyak....


Bertahun-tahun silam, sebagian besar anak Indonesia mengenal lagu lembut yang penuh nilai positip ini, tentang seorang anak bernama Amelia yang sehat –karena tergambar lincah-, tanpa beban –riang selalu-, dan memiliki banyak teman karena ramah. Penyanyinya pun anak-anak yang dengan tampilan polos menebar senyum di acara semacam Ayo Menyanyi  di TVRI.

Bagai Jamur di Musim Hujan

Kini, di tahun 2010, lagu ini bukan hanya tidak pernah terdengar lagi didendangkan –karena anak-anak yang hadir di pentas semacam Idola Cilik rupanya lebih senang membawakan lagu-lagu orang dewasa- namun juga  sepertinya tak lagi berkesesuaian dengan kenyataan.

Betapa tidak, tahun 2010 dibuka dengan sebuah kisah memilukan, seorang gadis cilik bernama Amelia, yang belum genap 2 tahun, meninggal dunia setelah berminggu-minggu tergolek lemah di rumah sakit akibat mengidap gizi buruk.

Dan sebagaimana disebut dalam syair bahwa Amelia banyak temannya, kisah sedih balita Indonesia yang tergolek lemah di rumah sakit atau bahkan meninggal dunia karena mengalami kasus gizi buruk memang terus bermunculan seperti  jamur di musim hujan.

Sebutlah nama Fania Kusmiani (2) yang dirawat di rumah sakit yang sama dengan tempat Amelia dirawat yaitu di RSUD Bayu Asih, Purwakarta. Ada pula Ai Siti (4) dan Cep Dahlan (3) kakak beradik yang dirawat di RSUD Cibabat Kota Cimahi. Menyusul Maria Fatima Rosary (8 bulan) yang dirawat di Panti Rawat Gizi di Kelurahan Bitefa, Miomaffo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT. Ditambah pula Aldi Ahmad Hidayat (2) yang dirawat di RSD Panti Waluyo Kabupaten Madiun dan Adita (11 bulan) yang dirawat di RSUD Koja, Jakarta Utara.

Masih di bulan Januari 2010 11 balita gizi buruk ditemukan di Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah menyusul pemberitaan soal 13 balita gizi buruk yang tengah dirawat di sejumlah rumah sakit di NTT.

Kasus gizi buruk sendiri bukan kasus baru. Sepanjang 2009 saja telah jatuh ratusan korban balita meninggal dunia akibat gizi buruk. Di Jember misalnya 12 bayi usia balita yang dirawat di Rumah Sakit dr Soebandi, Jember, meninggal dunia akibat gizi buruk.

Begitupula di NTT sedikitnya sudah lima balita terdata meninggal karena gizi buruk. Sementara di provinsi tetangganya, Nusa Tenggara Barat, kasus gizi buruk yang mencetuskan busung lapar sudah merenggut 13 anak usia balita.

Bahkan wilayah kaya semacam Riau pun ‘menyumbang’ data. Dari temuan adanya 28 balita penderita pengidap gizi buruk sepanjang 2009, tujuh di antaranya akhirnya meninggal dunia.

Miskin Harta dan Miskin Pemahaman

 Problem gangguan gizi atau malnutrisi umumnya merujuk pada kondisi tak imbangnya asupan zat gizi pada tubuh, kurangnya asupan zat gizi atau bahkan tidak terpenuhinya asupan zat gizi pada diri seseorang (gizi buruk). Penyebab yang paling umum dari masalah malnutrisi ini memang persoalan faktor ekonomi, dimana kemiskinan menyebabkan satu keluarga tak mampu memberi kecukupan asupan makan bergizi pada anaknya.

Namun, problem malnutrisi pun ternyata bisa pula disebabkan karena soal miskin pemahaman, misalnya saja miskin pemahaman soal pentingnya memberikan ASI ekslusif pada bayi, hingga miskin pemahaman soal manfaat gizi dan ragam gizi yang menyebabkan jenis makanan yang diberikan pada anggota keluarga seringkali didasari pada pilihan asal tenang atau asal kenyang.

Tetapi yang paling mengenaskan, ketidakmampuan memberi asupan makanan bergizi pada keluarga miskin seringkali tidak sebanding dengan belanja rokok di dalam keluarga tersebut. Hanya karena kecanduan rokok dan merasa bahwa harga rokok “murah”, alokasi pembelian rokok justru diprioritaskan daripada membeli makanan “murah” yang sebenarnya bergizi seperti telur atau tempe.

Survei Ekonomi Nasional (Susenan) BPS tahun 2006 mencatat belanja bulanan rokok pada keluarga termiskin Indonesia setara dengan 15 kali biaya pendidikan dan 9 kali biaya kesehatan. Jika dibandingkan dengan pengeluaran makanan bergizi, jumlah itu setara dengan 17 kali pengeluaran untuk membeli daging, 2 kali lipat untuk membeli ikan, dan 5 kali lipat untuk membeli telur dan susu.

Begitu pula hasil studi yang dilakukan oleh Richard D Semba dan rekannya pada tahun 2007 yang menemukan bahwa dari 175.859 rumah tangga miskin perkotaan di Indonesia yang diteliti sepanjang tahun 1999-2003,  sebanyak 73,8 persen kepala keluarganya adalah perokok aktif, dengan pengeluaran mingguan untuk membeli rokok sebesar 22 persen. Hasil penelitian yang dipublikasikan pada Public Health Nutrition Journal edisi January 2007 ini telah menunjukkan betapa belanja rokok ternyata telah menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang balita.

Ayam Mati di Lumbung Padi

Gizi buruk sangat memperngaruhi kondisi kesehatan seseorang. Apalagi bagi balita. Tidak hanya secara fisik seorang anak akan terhambat tumbuh kembangnya, bahkan kecerdasannya pun akan terganggu.

Badan dunia UNICEF menemukan bahwa di banyak negara berkembang termasuk Indonesia ditemukan banyak anak balita yang jatuh sakit, terhambat perkembangannya bahkan meninggal dunia karena masalah gangguan gizi. Padahal, masih menurut UNICEF, 1000 hari pertama dari kehidupan seorang anak adalah masa yang paling menentukan bagi proses tumbuh kembang si anak kelak. Sehingga pada sekitar 3 tahun pertama inilah seorang anak sangat membutuhkan asupan gizi yang cukup dan imbang untuk menjamin kesehatannya secara memadai.

Sebagai negara yang kaya sumber daya alam dalam hal jumlah dan jenisnya, tingginya angka kejadian gizi buruk memang menjadi persoalan yang memilukan sekaligus memalukan. Betapa tidak, hampir 20% dari keseluruhan biota laut dunia –termasuk ikan dan hewan tumbuhan yang bisa dimakan- dimiliki Indonesia. Hutan tropis Indonesia pun masih tercatat sebagai yang terluas nomor dua di dunia. Belum lagi ribuan jenis tanaman –termasuk di dalamnya tanaman pangan- yang dimiliki dan tersebar pada keseluruhan wilayah dari Sabang hingga Merauke.

Namun data nasional hingga 2008 menunjukkan bahwa balita yang mengalami masalah gangguan gizi di Indonesia masih menembus angka 4 juta jiwa dengan sekitar 700 ribu diantaranya mengalami kasus gizi buruk.

Persoalan kejadian gizi buruk pada balita makin terasa mengenaskan mengingat penderita gizi  buruk tidak mendapatkan penyakit ini dalam hitungan jam atau hari sebagaimana peyakit akibat virus atau bakteri. Seseorang yang terdeteksi mengalami gizi buruk umumnya sudah mengalamai masa panjang berminggu-minggu, bulan atau bahkan tahunan  mulai dari memperoleh asupan tak imbang gizi, kurang gizi hingga mencapai kondisi terakhir gizi buruk.

Maka bila ada seorang balita usia 3 hingga 5 tahun yang akhirnya terpaksa dilarikan ke rumah sakit atau bahkan meninggal dunia, hampir dapat dipastikan bahwa balita tersebut sudah mengalami kasus kekurangan asupan zat gizi sejak lama namun tak cepat diatasi. Alasannya kelambatan ini sendiri beragam. Baik dari faktor orangtua yang tidak cepat menyadari bahwa anaknya yang (umumnya cukup rentan) sakit-sakitan menderita gizi buruk, juga karena masyarakat sekitar khususnya kader posyandu tidak cepat mendeteksi.

Pencegahan dan Penanganan Gizi Buruk

Pemerintah melalui kementrian kesehatan, sesungguhnya telah berupaya mencari jalan untuk mengatasi problem gizi buruk ini misalnya dengan membuat program pemberian makanan tambahan. Tetapi, hal ini tidaklah cukup. Dari sekitar  700 ribu balita penderita gizi buruk, diketahui baru sekitar 39 ribu  anak yang mendapat bantuan makanan tambahan. Apalagi, anggaran penanggulangan gizi pada APBN 2010 diketahui menurun dari sekitar 500 miliar menjadi 400 miliar.

Begitupula dari sekitar 300 ribu posyandu yang tersebar di seluruh tanah air belum semuanya bisa mengkaver kebutuhan masyarakat. Kader posyandu yang idealnya terdiri atas 3 hingga 5 orang per posyandu, kini hanya digerakkan oleh satu hingga tiga orang saja. Padahal masalah gizi buruk utamanya pada balita dan anak sesungguhnya merupakan masalah kita bersama yang akan menjadi hambatan  bagi kemajuan generasi bangsa ini ke depannya bila tak tertangani.  Karena itu mau tidak mau harus ada upaya bersama dari masyarakat pula agar masalah gizi buruk ini bisa tertangani.

Program yang sudah dicanangkan pemerintah seperti pemberian makanan tambahan (PMT) misalnya tetap perlu dilakukan namun tak bisa berhenti sampai disitu. Secara konsisten harus terus dilakukan upaya berkelanjutan agar balita yang sekarang mengalami gizi buruk bisa membaik dan balita yang mengalami kurang gizi tak jatuh menjadi bergizi buruk.

Maka di sinilah pentingnya kita sebagai anggota masyarakat juga berupaya meningkatkan peran komuntas dari dan oleh masyarakat sendiri untuk mencegah dan menangani masalah gizi buruk yang terjadi di sekitar kita terutama pada balita dan anak-anak.

Upaya penanganan gizi buruk yang mulai banyak dilakukan misalnya dengan mengadakan Therapeutic Feeding Center (TFC) dan Community Feeding Center (CFC) di tengah masyarakat. Kedua program ini sangat baik bila diupayakan terus berkembang dengan penguatan dukungan berbasis komunitas masayrakat terdekat.

Therapeutic Feeding Center merupakan upaya penanganan pasien gizi buruk di puskesmas terdekat sebagai bagian dari terapi medis. Puskesmas dapat memegang peranan selain peran promotif preventif juga peran kuratif berupa penanganan diri terhadap anak-anak atau bayi atau balita yang terdeteksi dini mengalami gejala gizi buruk.

Sementara Community Feeding Center merupakan program berbasis masyarakat yang sangat diperlukan dalam memantau kondisi gizi anak-anak dan balita di lingkungan sekitar terutama bagi mereka yang sudah menjalani program perawatan di TFC.

Peran-peran ini sesungguhnya sudah dilakukan oleh kader-kader posyandu. Penimbangan yang teratur setiap bulan akan dapat mendeteksi dini kemungkinan terjadinya anak mengalami gizi buruk. Begitupula sosialiasi dan pendampingan kepada masyarakat soal pentingnya menyediakan makanan bergizi dan menjelaskan ragam jenis makanan bergizi yang bisa divariasikan tanpa harus diasosiasikan dengan “sulit” dan “mahal”.

Namun kader posyandu sendiri terbatas jumlahnya. Karena itu menggandeng anggota masyarakat baik dari unsur seperti PKK, arisan, majelis taklim dan lain-lain bisa membantu perluasan program pencegahan dan penanggulangan gizi buruk.  Alasan jarak yang jauh dari puskesmas di wilayah terpencil misalnya bisa tertangani bila secara simultan dan kontinyu anggota masyarakat sendiri aktif memantau tumbuh kembang balita dan anak di sekitar mereka.

Di sisi lain pemerintah sendiri perlu segera memperbaiki sebaran tenaga kesehatan agar lebih merata. Tenaga kesehatan yang merata, terutama tenaga gizi, akan sangat membantu proses penyadaran masyarakat terhadap gejala-gejala awal yang dialami penderita gizi buruk. Jika dalam sebuah daerah tersebar tenaga medis yang bekerja secara optimal melakukan tindakan promotif dan preventif maka angka kejadian gizi buruk bisa diminimalisir.


Dan terakhir, setiap perusahaan terutama perusahaan besar atau yang berskala nasional perlu dimintakan untuk ikut serta memberikan dukungannya pada upaya pencegahan dan penanganan gizi buruk ini, misalnya lewat melalui program-program corporate social responsibility yang umumnya diagendakan setiap tahun.

Gizi balita kita sesungguhnya adalah cermin kualitas bangsa kita di masa depan. Memperbaiki gizi mereka sejak dini adalah sebuah keniscayaan untuk mendapatkan sosok-sosok yang sehat, cerdas dan berdaya di masa datang. Maka, investasi amal fisik, ilmu dan harta kita tak perlu lagi kita tunda-tunda pelaksanaannya menjadi esok atau nanti. Indonesia bebas gizi buruk 2015 sudah harus menjadi tekad kita bersama dan dengan kemauan yang keras, yakinlah, kita pasti bisa mewujudkannya.

0 komentar:

Posting Komentar