Pages

 

Rabu, 12 Juni 2013

Melegalkan yang Ilegal, Cara Aneh Menaker Mengatasi Masalah TKI

1 komentar
Pemerintah berencana menertibkan calo tenaga kerja Indonesia dengan cara melegalisasi mereka. Langkah ini dikarenakan tingginya  ongkos rekrutmen  calo tenaga kerja Indonesia di daerah kantong-kantong. "Yang penting prinsipnya yang bergerak itu (calo) diketahui dan teregistrasi, sehingga bertanggung jawab," kata  Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar di Jakarta.



Rencana Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin untuk melegalkan calo tenaga kerja dengan meregistrasi mereka sungguh terasa aneh, sebab calo TKI yaitu para pencari, perekrut, penampung dan pengirim TKI secara ilegal selama ini justru merupakan salah satu penyebab munculnya beragam masalah membelit nasib para TKI. 

Kalau dilihat dari sisi hukum, keberadaan calo tenaga kerja jelas melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Sebab dalam undang-undang itu perekrutan TKI hanya boleh dilakukan oleh perusahaan jasa tenaga kerja atau cabang perusahaan jasa TKI. tentu saja yang dimaksud Undang-undang ini adalah perusahaan yang resmi, terdaftar dan memiliki syarat dan izin-izin khusus sebagai perusahaan penyalur jasa tenaga kerja.

Maka, niatan pemerintah meregistrasi para calo termasuk  tak bisa menyelesaikan masalah. Selama mereka bukan perusahaan yang terdaftar resmi dan berkesesuaian dengan syarat-syarat perusahaan jasa tenaga kerja, calo tetaplah calo yang tidak memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam mengurus dan mengelola urusan per-TKI-an.
Kita tahu bahwa problem TKI bermasalah dari tahun ke tahun tak kunjung surut. Mulai dari proses pemberangkatan yang tidak prosedural, penempatan yang tidak jelas, gaji tidak dibayar, gaji dibayar rendah, pelecehan seksual, penganiayaan, pembunuhan, kecelakaan kerja, trafficking (perdagangan manusia), pelanggaran keimigrasian dan lain-lain. 


Dan salah satu persoalan yang menyebabkan tingginya problem membelit nasib para TKI ini adalah soal keberangkatan mereka yang dilakukan dengan tanpa melewati prosedur resmi alias lewat calo. Calo tenaga kerja ini kerap dikenal sebagai sponsor. Mereka umumnya memberikan jasa tidak berstandar  saat melakukan penempatan tenaga kerja Indonesia dan mengakibatkan munculnya beban dan resiko lebih besar yang harus ditanggung TKI sekaligus mengebiri hak-hak para TKI.

Para calon TKI yang berangkat lewat calo umumnya tidak dibekali dokumen formal dan finansial yang cukup. Dari sisi beban keuangan, TKI juga harus menanggung potongan gaji lebih panjang dibandingkan yang berangkat melalui jalur resmi . Lantas informasi yang diberikan calo pun seringkali tidak bisa dipertanggungjawabkan sehingga TKI ilegal sangat rawan menjadi korban kekerasan. Belum lagi, TKI ilegal ini umumnya juga mendapat upah yang lebih rendah dan setiap kali menghadapi penertiban oleh pihak keamanan setempat tidak mendapat perlindungan.

Ironinya, para calo ini kerap juga menjadi penyuplai calon TKI ke PPTKIS resmi bahkan menjadi andalah bagi perusahaan penyedia tenaga kerja ini, sebab para calo lebih siap untuk turun ke kampung-kampung, door to door dalam mencari calon TKI. 

Maka, apakah calo teregistrasi dan “lulus” didikan depnaker ini secara otomatis menjadi pihak resmi yang setara dengan lembaga resmi penyalur TKI? tentu tidak. Dan apakah tidak akan muncul problem baru lagi dalam urusan per-TKI-an kita karena akan muncul tiga pihak yang akan ramai-ramai “mengerubuti” calon TKI yaitu pihak lembaga resmi, calo legal alias calo teregistrasi dan calo ilegal yang masih akan bergerilya ke kampung-kampung selama tidak ada tindakan tegas pemerintah untuk memberantas kegiatan percaloan ini. 

Target pengiriman TKI keluar negeri masih terus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Namun nasib buram para TKI harus bisa diminimalisasi. Diantaranya dengan menghapus praktek percaloan. Cukuplah satu pintu kelegalan yaitu dari lembaga yang resmi, terdaftar serta memiliki syarat dan izin sesuai peruntukan.

Apalagi kalau mengingat di luar urusan calo ada juga andil ketidakbecusan pemerintah mengelola pengurusan pengiriman dan penempatan TKI. Dalam satu kesempatan Menteri Muhaimin sendiri kepada media massa mengaku bahwa pelayanan penempatan dan perlindungan terhadap TKI yang dilakukan antarinstansi terkait belum terkoordinasi dengan baik. Setiap instansi masih mementingkan ego sektoral.

Ini benar adanya. Kita bahkan belum lupa bagaimana “perseteruan” antara BNP2TKI dengan Ditjen Binapenta Depnakertrans tak kunjung usai dalam mengurus pelayanan dan pemberangkatan TKI.

Maka pengakuan ini pun seharusnya bisa menjadi fokus perhatian Menakertrans untuk sungguh-sungguh melakukan pembenahan pada jajaran instansi di bawah kewenangannya sekaligus melakuan perbaikan koordinasi dengan instansi terkait. Begitu pula pembenahan PPTKIS nakal yang memanfaatkan calo perlu dilakukan lebih dahulu ketimbang melakukan legalisasi atas praktek-praktek percaloan yang jelas-jelas ilegal.
Read more...

RUU PRT Masih Perlu Kajian Lebih Dalam

0 komentar
Jakarta, RM. Untuk memperjelas posisi Pembantu Rumah Tangga (PRT), kader PKS di Senayan menilai harus ada revisi terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2002. Terlebih dasar pemikiran RUU PRT adalah untuk melindungi tenaga kerja informal tersebut.

"Ini penting, sehingga posisi PRT yang disebut dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan PRT jadi lebih jelas," kata anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah kepada Rakyat Merdeka, kemarin.Ledia menjelaskan, perlindungan bagi PRT yang dimaksud adalah perlindungan dalam hal pengupahan, jam kerja, kebebasan beribadah dan terhindar dari kekerasan. Draft RUU yang sedang dipersiapkan ini juga mengatur tentang jenis-jenis kelompok pekerjaan.

"RUU ini juga mendorong PRT untuk bekerja lebih profesional," cetus wakil ketua Fraksi PKS di DPR ini.Meski demikian, lanjut Ledia, yang paling penting dalam penerapannya adalah kesepakatan kerja dan negosiasi antara ma-jikan dan PRT pada saat awal mengenai tugas, jam kerja dan kesempatan beribadah. 

"Tapi yang dikhawatirkan adalah kontrol terhadap pelaksanaan kesepakatan tersebut," tandasnya. (Rakyat Merdeka Dotcom)
Read more...

Selasa, 11 Juni 2013

Ledia Hanifa: Pengangkatan Perawat Terganjal PP No 48/2005

0 komentar
Senayan - Bangsal Geriatri Rumah Sakit Umum Karyadi Semarang membutuhkan perawat yang akan melayani pasien dengan usia 60 tahun ke atas yang memiliki karakteristik khusus. Namun, upaya itu terganjal PP No 48/2005 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS.

"Persoalannya perawatnya kurang, yang lucu, di situ kan RS pendidikan perawat, ada juga pendidikan dokter, tapi kurang. Karena mereka tidak bisa mengangkat, kan PP No 48 sudah melarang pengangkatan PNS dan itu sangat tergantung keuangan negara," kata anggota Komisi IX Ledia Hanifa, kepada Jurnalparlemen.com, Jumat (12/3). 

Ledia menambahkan, Bangsal Geriatri di RS Karyadi Semarang memang memiliki fasilitas yang ramah dengan orang tua, lantainya tidak licin dan ada pegangannya serta pasien mendapatkan pendampingan. "Ya semestinya ditambah perawat untuk mendampingi pasien, tapi nggak tahu bagaimana menyiasati dengan PP 48 ini," ujar Ketua Bidang Kewanitaan DPP PKS ini.

Dalam kunjungannya ke RS Karyadi yang merupakan pusat rujukan nasional, Komisi IX pun sempat melihat peralatan kesehatan, Ledia mengatakan, secara umum kondisinya sudah baik, namun untuk pengadaan selanjutnya harus dipastikan alat-alat itu suku cadangnya mudah di peroleh.(zik/zik/Jurnalparlemen.com)

Read more...

Rabu, 05 Juni 2013

Kunker Komisi IX Ke Pabrik Rokok Maret 2010

0 komentar
Ketika  berkunjung ke pabrik  rokok PT Djarum, tim komisi IX melihat langsung bagaimana sekitar 74 ribu pekerja –lebih 70% diantaranya kaum perempuan–  menjalani hari-hari mereka sebagai buruh baik yang dibayar dengan sistem harian, pekanan atau bulanan. 


Meski setiap saat bergelut dengan produk olahan tembakau yang masih dikerjakan secara manual ini, para pekerja tidak diberikan masker penutup mulut dan hidung 

Sementara itu kunjungan ke pabrik jamu PT Sido Muncul juga memperlihatkan fenomena serupa dimana lebih dari 80% tenaga kerja disini adalah kaum perempuan. Pihak manajemen PT Sido Muncul menyatakan mereka telah memberikan hak-hak pekerja seperti cuti hamil, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan mengikutkan seluruh pekerjanya dalam program Jamsostek
Read more...

Kunker Komisi IX Ke BLK Jawa Tengah Maret 2010

0 komentar
 Di BLKI Semarang Tim Kunker Komisi IX DPR RI meninjau langsung tempat pelatihan dan sarana prasarana yang ada dilokasi pelatihan. Lokasi peninjauan pertama adalah kelas-kelas pelatihan bahasa Jepang yang mempersiapkan siswa berlatih bahasa Jepang termasuk mempelajari tata cara hidup orang Jepang. 

Dalam kunjungan ini tim Komisi IX sempat mendapat penjelasan bahwa permintaan Jepang akan tenaga kerja terampil Indonesia sangat tinggi dan belum semuanya terpenuhi. Karena itu BLKI Semarang berupaya menjaring tenaga kerja terampil ini dengan mensosialisasikan program di website 3 in 1 juga bekerjasama dengan pihak ketiga baik Pemda dan institusi-institusi pendidikan lainnya 

Seluruh siswa di BLKI ini adalah laki-laki berusia rata-rata 18-22 tahun, yang dididik  dengan sikap disiplin yang tinggi.
Read more...

Kunker Komisi IX Ke RSUP Dr Kariadi Maret 2010

0 komentar


Dalam kunjungan kerja komisi IX DPR RI ke Jawa Tengah beberapa waktu lalu, beberapa tempat yang sempat dikunjungi antara lain perusahaa Pura Group yang bergerak di bidang pembuatan kertas, kertas uang dan security paper  pengolahan lanut kertas (converting), RSUP Dr Kariadi Semarang, BLKI  Semarang, pabrik rokok PT Djarum dan pabrik jamu PT Sido Muncul.


       Ketika mengunjungi RSUP Dr Kariadi yang berafiliasi dengan FK Undip Semarang dalam pelaksanaan pendidikan kedokteran, tim komsi IX menemukan bahwa rumah sakit ini justru memiliki hambatan dalam hal ketersediaan tenaga pelayanan kesehatan. Misalnya saja saat ini jumlah perawat ada 732 orang sementara idealnya adalah 965 perawat. Untuk dokter spesialis bedah orthopedi hanya ada 1 orang sementara jumlah  minimal adalah 3 dan jumlah ideal adalah 5 dokter; spesialis bedah anak hanya ada 2 dengan jumlah minimal adalah 3 dan jumlah ideal adalah 5 dokter.
     
Read more...

Selasa, 04 Juni 2013

Media Visit Ke Media Online Detik Bandung

0 komentar

Read more...

Media Visit Ke Harian Kompas Jabar

0 komentar

Read more...

Hadapi ACFTA, BPOM Perlu Revitalisasi Diri

0 komentar
Perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina yang dimulai per 1 Januari 2010 telah memungkinkan berbagai produk dari negara-negara ASEAN dan Cina memasuki Indonesia dengan bea nol persen.  Ini tentu berdampak pada meningkatnya serbuan barang-barang impor memasuki pasar Indonesia  seiring diberlakukannya pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas di intra-ASEAN [ASEAN free trade area/AFTA| dan antara China dan ASEAN (ASEAN - China Free Trade Agreement/ACFTA) ini.



Dari sekian  banyak serbuan produk ini, salah satu persoalan krusial yang perlu diperhatikan bersama adalah persoalan masuknya makanan, kosmetika dan obat-obatan termasuk jamu dari negara lain. Secara realita saat ini pasar kita memang sudah banyak disuplai produk makanan dan obat-obatan dari luar negeri yang belum tentu terjamin keamanan dan kualitasnya untuk dikonsumsi.  Maka keleluasaan lebih yang dimunculkan pasca ACFTA tentu membutuhkan proteksi  bagi masyarakat semakin gencar dankuat,  apalagi mengingat selama ini telah banyak terjadi kasus-kasus kesehatan yang ditimbulkan dari produk-produk dalam dan luar negeri yang tak berkualitas yang lolos dari pengawasan.


Untuk itu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sebagai lembaga pemerintah yang merupakan salah satu garda depan dalam hal perlindungan terhadap konsumen seharusnya dapat menjalankan tugasnya secara lebih proaktif,  serta menghindarkan diri menjadi lembaga yang reaktif, yang bergerak manakala sudah  terdapat kasus-kasus yang dilaporkan.
Kita akui, membanjirnya produk makanan dan obat ke Indonesia memang memiliki kesulitan tersendiri dalam hal pengontrolan. Luasnya wilayah negara kita yang mencapai 1.922.570 km² untuk daratannya saja misalnya merupakan salah satu faktor utama sulitnya Badan POM melakukan fungsi pengawasan secara tuntas merata. Kondisi negeri kita yang berwujud negara kepulauan juga memunculkan amat banyaknya pintu masuk bagi produk makanan dan obat-obatan ke Indonesia. 


Namun hal ini selayaknya tidak menjadi hambatan dan justru menjadi tantangan tersendiri bagi BPOM untuk melakukan revitalisasi tehadap kinerja mereka dalam hal mengawasi produk makanan dan obat-obatan impor yang beredar di masyarakat.
Ledia Hanifa anggota Komisi IX DPR RI di Jakarta menyatakan bahwa pengawasan terhadap produk makanan kosmetika dan obat-obatan impor termasuk jamu mutlak harus dilakukan BPOM secara lebih serius lagi demi untuk melakukan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan masyarakat kita. Prioritas akan perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan masyarakat harus menjadi semacam . Hal ini menjadi sangat beralasan melihat begitu banyaknya kasus yang pernah terjadi. 


“Tahun 2008 kita sudah dihebohkan dengan temuan makanan impor seperti  produk susu, biskuit, dan kue dari berbagai negara yang diduga mengandung melamin. Begitu pula banyak makanan, obat, kosmetika hingga jamu yang tak memenuhi standar keamanan, tak memuat daftar kandungan isi, juga tanda halal. Sebagian bahkan masih menggunakan tulisan bahasa asing dalam kemasannya. Maka BPOM harus melakukan terobosan-terobosan baru guna meningkatakan pengawasan akan produk makanan dan obat-obatan impor ini."  Ujarnya.
Untuk melakukan revitalisasi diri hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan oleh BPOM tambah Ledia Hanifa adalah meningkatkan kualitas SDM aparat BPOM di seluruh daerah di Indonesia. “ketersediaan SDM yang berkualitas ini harus secara terus menerus dipantau dan ditingkatkan agar setiap aparat BPOM bisa bekerja cepat, cermat dan akurat dalam menganalisa dan mengawasi kualitas produk yang akan masuk serta beredar di tengah masyarakat Indonesia.”


Selain itu BPOM juga perlu melakukan upaya-upaya sosialisasi pada masyarakat secara lebih luas, lebih sering, terbuka, mudah dipahami.  Salah satu sebab dari banyaknya kasus korban obat, makanan, kosmetika bahkan jamu bermasalah juga dikarenakan masyarakat sendiri kurang mendapat informasi tentang kandungan-kandungan berbahaya dari produk yang harus dicermati dan diwaspadai, atau bilapun ada sosialisasi yang dibuat Badan POM sebarannya tidak cukup merata dan tidak mencapai ke sebagian besar masyarakat. Hingga boleh dikatakan masyarakat sendiri kurang cukup mendapat pemahaman dan peringatan akan hal-hal yang sebenarnya bisa dihindari efek buruknya.


“Sosialisasi yang baik diharapkan akan memberi pemahaman  dan akan meningkatkan kehati-hatian masyarakat sebelum mereka memutuskan untuk mengkonsumsi atau menggunakan satu produk.  Sosialisasi di kalangan anak sekolah dan ibu rumah tangga misalnya, masih sangat lemah, sehingga mereka sebagai pihak yang banyak berhubungan dengan produk makanan, obat, kosmetika dan jamu-jamuan masih rentan dalam  melindungi diri mereka sendiri,” ujar politisi asal PKS ini lagi.


Terakhir, Ledia juga mengingatkan BPOM agar terus meningkatkan kerjasama dan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait baik dari dalam atau di luar negeri. Di dalam negeri, koordinasi yang kuat dan solid harus dilakukan dengan lembaga pemerintah lain seperti dengan kepolisian, kementrian kesehatan, kementrian perdagangan juga pemerintah daerah. 


Sementara Kerjasama BPOM dengan lembaga luar negeri dapat ilakukan dalam bentuk membangun jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga riset dalam penilaian risiko mikrobiologis, komunikasi risiko dan pendidikan pengamanan makanan tentang wabah penyakit yang dibawa oleh makanan dan  memperkuat kapasitas nasional untuk penilaian risiko dan penanggulangan wabah. "Sebab bagaimanapun BPOM harus mengikuti perkembangan tentang pengawasan makanan dan obat yang juga terjadi di negara lain untuk terus mengupdate diri juga." tambah Ledia.


Read more...

Peresmian Sekolah Ibu di DPC Regol

0 komentar

Read more...

Workshop Pos Wanita Keadilan

0 komentar

Read more...

Serap Aspirasi di Madrasah Al Islah Jl Babakan Irigasi Bojongloa Kaler

0 komentar

Read more...

Penutupan Terminal Khusus TKI Jangan Menjadi Sekedar PengalihanTanggung Jawab

0 komentar
Rencana Menteri Tenaga Kerja dan Ttransmigrasi, Muhaimin Iskandar untuk menutup Terminal 4 atau Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI di Selapajang Bandara Internasional Soekarno-Hatta adalah tindakan yang tepat. Karena selama ini para TKI yang pulang dari luar negeri selalu menjadi bahan pemerasan oleh oknum-oknum tertentu.


Sistem penataan yang berkali-kali dicoba perbaiki di Terminal 4 yang khusus menjadi pintu pengembalian para pahlawan devisa nyatanya tidak kunjung dapat membuat mereka aman tiba di tanah air. Meskipun sesungguhnya tujuan dari pemisahan terminal khusus TKI ini justru demi kemudahan dan keamanan para tenaga kerja Indonesia ini. 


Dengan beralihnya para TKI dari terminal khusus ke treminal umum akan menghilangkan kesan diskrimnasi yang menimpa para TKI selama ini dan akan memberikan kepada para TKI ini perlakukan yang setara dengan masyarakat lainnya.

Bukan pengalihan tanggung jawab

Namun perlu juga kita cermati, agar pengalihan terminal kedatangan para TKI dari terminal 4 ke terminal umum tidak kemudian justru menjadi alasan bagi Kementrian Nakertrans untuk mengalihkan tanggung jawab mereka dalam mengurus persoalan-persoalan yang terkait dengan kepulangan para TKI. 


Undang-undang No 39 tahun 2004 secara tegas menyebutkan pada Pasal 77 bahwa setiap TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan. Dengan demikian tanggung jawab Menakertrans tetap mutlak berlaku walaupun konsep terminal kedatangan TKI telah diubah.
Ada kekhawatiran bahwa setelah terminal 4 tidak lagi digunakan sebagai pintu kedatangan TKI dan kemudian terjadi masalah bagi TKI, pihak menakertrans akan bersikap "cuci tangan", mengalihkan tanggung jawab dan menyalahkan pihak lain. 


Kita berharap, pada dasarnya pengalihan terminal kedatangan TKI tersebut harus menjamin keaman bagi TKI dan menutup peluang terjadinya kembali kasus-kasus eksploitasi oleh oknum-oknum kepada para TKI tersebut. Menakertrans harus menjamin kenyamanan para TKI setelah bekeja di luar negeri. Terminal umum harus juga menjaga keselamatan TKI dari kriminalitas.


Dari pengalihan terminal kedatangan TKI yang paling penting dan perlu untuk mendapat jaminan dari Menakertrans adalah pengawasan melekat terhadap orang-orang yang bertanggung jawab terhadap pemulangan TKI. Jangan sampai orang-orang tersebut tidak jelas kinerja dan tanggung jawabnya.


Selain itu koordinasi dengan berbagai instasi seperti kementrian BUMN, imigrasi dll untuk menertibkan terminal umum bagi TKI terutama untuk menghindari calo, pungli, oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan tindakan lainnya yang dapat merugikan bagi para pejuang devisa tersebut. Semoga!

 


Read more...

Kunjungan On the Spot ke Balai Besar Pelatihan Tenaga Kerja Dalam Negeri (B2PTKDN)

0 komentar





Read more...

Temu Tokoh Buruh Kota Bandung

0 komentar

Read more...

Tuntaskan Dualisme Peran Pelayanan Pemberangkatan TKI ke Luar Negeri

0 komentar
TENAGA Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri atau yang kini kerap disebut sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI) adalah salah satu penyumbang terbesar devisa negara, nomor dua setelah pendapatan dari sektor migas. Lebih dari 100 triliun rupiah per tahun, sejak 2008, pendapatan devisa negara disumbangkan oleh para BMI ini sehingga negara sesungguhnya ‘berhutang’ kebaikan kepada para tenaga kerja yang acap dijuluki pahlawan devisa ini.

Namun, soal istilah pahlawan yang bermakna memuliakan ini seolah hanya menjadi sebuah hiburan pemanis bibir. Pada kenyataannya, persoalan pembinaan dan perlindungan pemerintah kepada para BMI justru nampak berlangsung setengah hati. Tengok saja kasus TKI bermasalah yang jumlahnya mencapai ribuan orang setiap tahunnya yang belum mendapat pendampingan dan perlindungan hukum yang memadai.

Sudah jamak terdengar sejumlah besar TKI atau calon TKI kerap memperoleh kesulitan dalam proses pembuatan dokumen pemberangkatan, terbelit berbagai pungutan liar, terlunta-lunta dalam soal penempatan kerja hingga terkena kasus-kasus kekerasan emosi, mental dan fisik yang berujung kesakitan, kecacatan bahkan hilangnya nyawa di tempat mereka bekerja. Pada sekian banyak kasus ini, pemerintah pun terkesan lambat dalam memberikan respon perlindungan dan pembelaan.

Semua masalah yang membelit para TKI atau calon TKI ini sesungguhnya  bermula di tanah air sejak terjadinya proses awal pemberangkatan. Adanya pemberangkatan TKI secara illegal, banyaknya PPTKIS yang sembrono mengirimkan tenaga kerja tanpa pembekalan, tanpa kejelasan penempatan hingga pungli dan kolusi dari oknum kemenakertrans bersama oknum PPTKIS telah membuka pintu awal derita di pundak calon TKI.

Karena itulah untuk memberikan perlindungan dan penertiban terhadap proses pemberangkatan TKI secara baik dan prosedural, negara sesungguhnya sudah berupaya memberikan payung hukum lewat terbitnya Undang-undang no 39 tahun 2004 yang mengatur soal Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, yang kemudian juga diikuti dengan berbagai peraturan pendukung lainnya seperti keluarnya Peraturan Pemerintah no 81 tahun 2006 tentang Badan  Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Peraturan Menteri no 22/XII/2008 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan beberapa peraturan terkait lainnya.

Namun, sungguh disayangkan, dalam implementasinya, berbagai pihak terkait seperti yang terjadi pada Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Dirjen Bina Penta) kemenakertrans dan lembaga Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang akhirnya memunculkan dualisme peran pelayanan dalam pelaksanaan proses pemberangkatan  para calon TKI ke luar negeri.

Dualisme peran pelaksanaan ini bahkan sudah berujung pada sebentuk ‘perseteruan’ dan tarik menarik kepentingan antar lembaga. Hal ini misalnya nampak dari persoalan kisruh pembekalan akhir pemberangkatan (PAP),  penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTLN), pun pada persoalan tarik menarik kewenangan pelayanan dan penanganan urusan TKI. Hal ini diantaranya disebabkan karena  hingga saat ini tiga institutsi yang meliputi pemerintah daerah, BNP2 TKI dan Depnakertrans bersikukuh untuk mengurusi  soal PAP dan penerbitan KTLN

Di berbagai media lantas tercuat adanya PPTKIS yang mengajukan keluhan soal pungutan biaya saat mengurus PAP dan KTLN ini, sesuatu yang bila mengacu pada UU no 39 tahun 2004 sesungguhnya tak memerlukan biaya dan sudah dibiayai oleh negara lewat dana APBN.

Begitupula adanya dualisme ini nyatanya membingungan para TKI, bahkan PPTKIS karena ada banyaknya peraturan yang harus diikuti sementara dalam prakteknya satu sama lain saling bertentangan. Ketika BNP2TKI mengeluarkan kebijakan kewajiban para calon buruh migran Indonesia memiliki kartu KTLN keluaran BNP2TKI misalnya, hal itu sempat memunculkan masalah dari pihak Dirjen Bina Penta.

Kekisruhan ini pada akhirnya telah melenakan banyak pihak terkait dari persoalan krusial lain yang berkenaan dengan buruh migran Indonesia ini, misalnya soal penertiban PPTKIS bermasalah, tenaga kerja ilegal, perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, serta terminal khusus  TKI yang juga memberi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah.

Sudah selayaknya bila persoalan dualisme pelayanan pengurusan TKI segera dituntaskan pemerintah sehingga bisa segera memberi kepastian pelaksanaan yang lebih tertib dan profesional di lapangan. Implementasi Undang-undang no 39 secara tegas harus segera dilakukan sementara menunggu wacana revisi undang-undang ini diberlakukan.
Sebab masih banyak pekerjaan rumah lain menanti kerja pemerintah untuk melakukan pelayanan dan perlindungan pada (calon) tenaga kerja Indonesia di luar negeri, termasuk membuat memorandum of understanding (MOU) dengan pemerintah-pemerintah negara pengguna jasa TKI, serta upaya pembelaan dan perlindungan hukum atas berbagai masalah yang menjerat TKI kita di luar negeri baik yang ilegal dan yang legal.

Apalagi, dari Oktober 2009 hingga masa berakhirnya 100 hari program Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini saja sudah tercatat ada lebih dari 2000 TKI bermasalah di luar negeri yang menuntut perhatian pemerintah, mulai dari soal TKI ilegal, TKI yang mendapatkan kecelakaan, kecatatan, hingga TKI yang tewas karena berbagai sebab.

Jangan tunggu lebih banyak kasus penderitaan buruh migran Indonesia terungkap. Penuntasan soal dualisme pelayanan pengurusan pemberangkatan TKI sudah bisa menjadi gerbang untuk mengawali penertiban dan pelaksanaan pengiriman tenaka kerja Indonesia ke luar negeri secara baik, profesional dan prosedural.


Read more...

Diskusi Publik tentang Problematika Tenaga Kerja Wanita Indonesia

0 komentar

Read more...

Temu Struktur DPD, DPC dan DPRa se Kota Bandung

0 komentar










Read more...

Temu Wartawan

0 komentar

Read more...

Temu Tokoh se Kota Bandung

0 komentar

Read more...

Kunjungan On The Spot ke RSUD Cibabat Kota Cimahi

0 komentar

Read more...

Kunjungan On The Spot ke RSUP Hasan Sadikin Bandung

0 komentar

Read more...

Gizi Balita Cermin Masa Depan Kita

0 komentar
Oh Amelia, gadis cilik lincah nian,

Tak pernah sedih, riang slalu spanjang hari...

Oh Amelia, gadis cilik ramah nian,

Dimana-mana Amelia temannya banyak....


Bertahun-tahun silam, sebagian besar anak Indonesia mengenal lagu lembut yang penuh nilai positip ini, tentang seorang anak bernama Amelia yang sehat –karena tergambar lincah-, tanpa beban –riang selalu-, dan memiliki banyak teman karena ramah. Penyanyinya pun anak-anak yang dengan tampilan polos menebar senyum di acara semacam Ayo Menyanyi  di TVRI.

Bagai Jamur di Musim Hujan

Kini, di tahun 2010, lagu ini bukan hanya tidak pernah terdengar lagi didendangkan –karena anak-anak yang hadir di pentas semacam Idola Cilik rupanya lebih senang membawakan lagu-lagu orang dewasa- namun juga  sepertinya tak lagi berkesesuaian dengan kenyataan.

Betapa tidak, tahun 2010 dibuka dengan sebuah kisah memilukan, seorang gadis cilik bernama Amelia, yang belum genap 2 tahun, meninggal dunia setelah berminggu-minggu tergolek lemah di rumah sakit akibat mengidap gizi buruk.

Dan sebagaimana disebut dalam syair bahwa Amelia banyak temannya, kisah sedih balita Indonesia yang tergolek lemah di rumah sakit atau bahkan meninggal dunia karena mengalami kasus gizi buruk memang terus bermunculan seperti  jamur di musim hujan.

Sebutlah nama Fania Kusmiani (2) yang dirawat di rumah sakit yang sama dengan tempat Amelia dirawat yaitu di RSUD Bayu Asih, Purwakarta. Ada pula Ai Siti (4) dan Cep Dahlan (3) kakak beradik yang dirawat di RSUD Cibabat Kota Cimahi. Menyusul Maria Fatima Rosary (8 bulan) yang dirawat di Panti Rawat Gizi di Kelurahan Bitefa, Miomaffo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT. Ditambah pula Aldi Ahmad Hidayat (2) yang dirawat di RSD Panti Waluyo Kabupaten Madiun dan Adita (11 bulan) yang dirawat di RSUD Koja, Jakarta Utara.

Masih di bulan Januari 2010 11 balita gizi buruk ditemukan di Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah menyusul pemberitaan soal 13 balita gizi buruk yang tengah dirawat di sejumlah rumah sakit di NTT.

Kasus gizi buruk sendiri bukan kasus baru. Sepanjang 2009 saja telah jatuh ratusan korban balita meninggal dunia akibat gizi buruk. Di Jember misalnya 12 bayi usia balita yang dirawat di Rumah Sakit dr Soebandi, Jember, meninggal dunia akibat gizi buruk.

Begitupula di NTT sedikitnya sudah lima balita terdata meninggal karena gizi buruk. Sementara di provinsi tetangganya, Nusa Tenggara Barat, kasus gizi buruk yang mencetuskan busung lapar sudah merenggut 13 anak usia balita.

Bahkan wilayah kaya semacam Riau pun ‘menyumbang’ data. Dari temuan adanya 28 balita penderita pengidap gizi buruk sepanjang 2009, tujuh di antaranya akhirnya meninggal dunia.

Miskin Harta dan Miskin Pemahaman

 Problem gangguan gizi atau malnutrisi umumnya merujuk pada kondisi tak imbangnya asupan zat gizi pada tubuh, kurangnya asupan zat gizi atau bahkan tidak terpenuhinya asupan zat gizi pada diri seseorang (gizi buruk). Penyebab yang paling umum dari masalah malnutrisi ini memang persoalan faktor ekonomi, dimana kemiskinan menyebabkan satu keluarga tak mampu memberi kecukupan asupan makan bergizi pada anaknya.

Namun, problem malnutrisi pun ternyata bisa pula disebabkan karena soal miskin pemahaman, misalnya saja miskin pemahaman soal pentingnya memberikan ASI ekslusif pada bayi, hingga miskin pemahaman soal manfaat gizi dan ragam gizi yang menyebabkan jenis makanan yang diberikan pada anggota keluarga seringkali didasari pada pilihan asal tenang atau asal kenyang.

Tetapi yang paling mengenaskan, ketidakmampuan memberi asupan makanan bergizi pada keluarga miskin seringkali tidak sebanding dengan belanja rokok di dalam keluarga tersebut. Hanya karena kecanduan rokok dan merasa bahwa harga rokok “murah”, alokasi pembelian rokok justru diprioritaskan daripada membeli makanan “murah” yang sebenarnya bergizi seperti telur atau tempe.

Survei Ekonomi Nasional (Susenan) BPS tahun 2006 mencatat belanja bulanan rokok pada keluarga termiskin Indonesia setara dengan 15 kali biaya pendidikan dan 9 kali biaya kesehatan. Jika dibandingkan dengan pengeluaran makanan bergizi, jumlah itu setara dengan 17 kali pengeluaran untuk membeli daging, 2 kali lipat untuk membeli ikan, dan 5 kali lipat untuk membeli telur dan susu.

Begitu pula hasil studi yang dilakukan oleh Richard D Semba dan rekannya pada tahun 2007 yang menemukan bahwa dari 175.859 rumah tangga miskin perkotaan di Indonesia yang diteliti sepanjang tahun 1999-2003,  sebanyak 73,8 persen kepala keluarganya adalah perokok aktif, dengan pengeluaran mingguan untuk membeli rokok sebesar 22 persen. Hasil penelitian yang dipublikasikan pada Public Health Nutrition Journal edisi January 2007 ini telah menunjukkan betapa belanja rokok ternyata telah menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang balita.

Ayam Mati di Lumbung Padi

Gizi buruk sangat memperngaruhi kondisi kesehatan seseorang. Apalagi bagi balita. Tidak hanya secara fisik seorang anak akan terhambat tumbuh kembangnya, bahkan kecerdasannya pun akan terganggu.

Badan dunia UNICEF menemukan bahwa di banyak negara berkembang termasuk Indonesia ditemukan banyak anak balita yang jatuh sakit, terhambat perkembangannya bahkan meninggal dunia karena masalah gangguan gizi. Padahal, masih menurut UNICEF, 1000 hari pertama dari kehidupan seorang anak adalah masa yang paling menentukan bagi proses tumbuh kembang si anak kelak. Sehingga pada sekitar 3 tahun pertama inilah seorang anak sangat membutuhkan asupan gizi yang cukup dan imbang untuk menjamin kesehatannya secara memadai.

Sebagai negara yang kaya sumber daya alam dalam hal jumlah dan jenisnya, tingginya angka kejadian gizi buruk memang menjadi persoalan yang memilukan sekaligus memalukan. Betapa tidak, hampir 20% dari keseluruhan biota laut dunia –termasuk ikan dan hewan tumbuhan yang bisa dimakan- dimiliki Indonesia. Hutan tropis Indonesia pun masih tercatat sebagai yang terluas nomor dua di dunia. Belum lagi ribuan jenis tanaman –termasuk di dalamnya tanaman pangan- yang dimiliki dan tersebar pada keseluruhan wilayah dari Sabang hingga Merauke.

Namun data nasional hingga 2008 menunjukkan bahwa balita yang mengalami masalah gangguan gizi di Indonesia masih menembus angka 4 juta jiwa dengan sekitar 700 ribu diantaranya mengalami kasus gizi buruk.

Persoalan kejadian gizi buruk pada balita makin terasa mengenaskan mengingat penderita gizi  buruk tidak mendapatkan penyakit ini dalam hitungan jam atau hari sebagaimana peyakit akibat virus atau bakteri. Seseorang yang terdeteksi mengalami gizi buruk umumnya sudah mengalamai masa panjang berminggu-minggu, bulan atau bahkan tahunan  mulai dari memperoleh asupan tak imbang gizi, kurang gizi hingga mencapai kondisi terakhir gizi buruk.

Maka bila ada seorang balita usia 3 hingga 5 tahun yang akhirnya terpaksa dilarikan ke rumah sakit atau bahkan meninggal dunia, hampir dapat dipastikan bahwa balita tersebut sudah mengalami kasus kekurangan asupan zat gizi sejak lama namun tak cepat diatasi. Alasannya kelambatan ini sendiri beragam. Baik dari faktor orangtua yang tidak cepat menyadari bahwa anaknya yang (umumnya cukup rentan) sakit-sakitan menderita gizi buruk, juga karena masyarakat sekitar khususnya kader posyandu tidak cepat mendeteksi.

Pencegahan dan Penanganan Gizi Buruk

Pemerintah melalui kementrian kesehatan, sesungguhnya telah berupaya mencari jalan untuk mengatasi problem gizi buruk ini misalnya dengan membuat program pemberian makanan tambahan. Tetapi, hal ini tidaklah cukup. Dari sekitar  700 ribu balita penderita gizi buruk, diketahui baru sekitar 39 ribu  anak yang mendapat bantuan makanan tambahan. Apalagi, anggaran penanggulangan gizi pada APBN 2010 diketahui menurun dari sekitar 500 miliar menjadi 400 miliar.

Begitupula dari sekitar 300 ribu posyandu yang tersebar di seluruh tanah air belum semuanya bisa mengkaver kebutuhan masyarakat. Kader posyandu yang idealnya terdiri atas 3 hingga 5 orang per posyandu, kini hanya digerakkan oleh satu hingga tiga orang saja. Padahal masalah gizi buruk utamanya pada balita dan anak sesungguhnya merupakan masalah kita bersama yang akan menjadi hambatan  bagi kemajuan generasi bangsa ini ke depannya bila tak tertangani.  Karena itu mau tidak mau harus ada upaya bersama dari masyarakat pula agar masalah gizi buruk ini bisa tertangani.

Program yang sudah dicanangkan pemerintah seperti pemberian makanan tambahan (PMT) misalnya tetap perlu dilakukan namun tak bisa berhenti sampai disitu. Secara konsisten harus terus dilakukan upaya berkelanjutan agar balita yang sekarang mengalami gizi buruk bisa membaik dan balita yang mengalami kurang gizi tak jatuh menjadi bergizi buruk.

Maka di sinilah pentingnya kita sebagai anggota masyarakat juga berupaya meningkatkan peran komuntas dari dan oleh masyarakat sendiri untuk mencegah dan menangani masalah gizi buruk yang terjadi di sekitar kita terutama pada balita dan anak-anak.

Upaya penanganan gizi buruk yang mulai banyak dilakukan misalnya dengan mengadakan Therapeutic Feeding Center (TFC) dan Community Feeding Center (CFC) di tengah masyarakat. Kedua program ini sangat baik bila diupayakan terus berkembang dengan penguatan dukungan berbasis komunitas masayrakat terdekat.

Therapeutic Feeding Center merupakan upaya penanganan pasien gizi buruk di puskesmas terdekat sebagai bagian dari terapi medis. Puskesmas dapat memegang peranan selain peran promotif preventif juga peran kuratif berupa penanganan diri terhadap anak-anak atau bayi atau balita yang terdeteksi dini mengalami gejala gizi buruk.

Sementara Community Feeding Center merupakan program berbasis masyarakat yang sangat diperlukan dalam memantau kondisi gizi anak-anak dan balita di lingkungan sekitar terutama bagi mereka yang sudah menjalani program perawatan di TFC.

Peran-peran ini sesungguhnya sudah dilakukan oleh kader-kader posyandu. Penimbangan yang teratur setiap bulan akan dapat mendeteksi dini kemungkinan terjadinya anak mengalami gizi buruk. Begitupula sosialiasi dan pendampingan kepada masyarakat soal pentingnya menyediakan makanan bergizi dan menjelaskan ragam jenis makanan bergizi yang bisa divariasikan tanpa harus diasosiasikan dengan “sulit” dan “mahal”.

Namun kader posyandu sendiri terbatas jumlahnya. Karena itu menggandeng anggota masyarakat baik dari unsur seperti PKK, arisan, majelis taklim dan lain-lain bisa membantu perluasan program pencegahan dan penanggulangan gizi buruk.  Alasan jarak yang jauh dari puskesmas di wilayah terpencil misalnya bisa tertangani bila secara simultan dan kontinyu anggota masyarakat sendiri aktif memantau tumbuh kembang balita dan anak di sekitar mereka.

Di sisi lain pemerintah sendiri perlu segera memperbaiki sebaran tenaga kesehatan agar lebih merata. Tenaga kesehatan yang merata, terutama tenaga gizi, akan sangat membantu proses penyadaran masyarakat terhadap gejala-gejala awal yang dialami penderita gizi buruk. Jika dalam sebuah daerah tersebar tenaga medis yang bekerja secara optimal melakukan tindakan promotif dan preventif maka angka kejadian gizi buruk bisa diminimalisir.


Dan terakhir, setiap perusahaan terutama perusahaan besar atau yang berskala nasional perlu dimintakan untuk ikut serta memberikan dukungannya pada upaya pencegahan dan penanganan gizi buruk ini, misalnya lewat melalui program-program corporate social responsibility yang umumnya diagendakan setiap tahun.

Gizi balita kita sesungguhnya adalah cermin kualitas bangsa kita di masa depan. Memperbaiki gizi mereka sejak dini adalah sebuah keniscayaan untuk mendapatkan sosok-sosok yang sehat, cerdas dan berdaya di masa datang. Maka, investasi amal fisik, ilmu dan harta kita tak perlu lagi kita tunda-tunda pelaksanaannya menjadi esok atau nanti. Indonesia bebas gizi buruk 2015 sudah harus menjadi tekad kita bersama dan dengan kemauan yang keras, yakinlah, kita pasti bisa mewujudkannya.
Read more...

Kunjungan On The Spot ke RS Hasan Sadikin Bandung

0 komentar

Read more...

Silaturahmi Aleg DPR & DPRD Jawa Barat

0 komentar








Silaturahim DPTW PKS Jawa Barat, Anggota DPR RI Dapil Jawa Barat dan Anggota DPRD Propinsi Jawa Barat, berlangsung pada Sabtu, 5 Maret 2010 di Hotel Massion Pine Kota baru Parahyangan Padalarang                   

Read more...

Tabligh Akbar Memaknai Tahun Baru Hijriah 1431 H

0 komentar

Read more...

Takbir Akbar Memaknai Hari Ibu 2009

0 komentar

Read more...

Pelantikan Pengurus Wanita PUI

0 komentar




Februari 2010
Read more...